Berita Kegiatan IPM Bantul

Maling Ayam


      Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Seseorang membunyikan kentongan amat keras tanpa jeda dan tempo, membuat rembulan yang tadi tidak terlihat kembali dibungkus mendung kemerah-merahan—tidak ada hubungannya memang. Seorang jangkung bernasib naas. Tubuhnya tak berdaya dengan lebam sana-sini, terutama wajahnya yang sebetulnya tampan, sih. Apa peduli? Dia dilaporkan sudah mencuri ayam warga setelah seorang warga melihat mas-masnya yang biasa menghadapi kasus ini (pencurian ayam) sudah merobohkannya sambil membawa lima ekor ayam yang sudah diikat kakinya. Dikeroyok kemudian.

                “Tadi kenapa kamu jalannya celingukan? Jelaskan!” warga yang menindihnya mendesak ingin dijawab. Tapi mulut tersangka cuma bunyi, “aku bukan pencurinya, pak. Sumpah. Jalan-jalan saja,” terus-menerus sampai akhirnya bonyok-bonyok nggak berubah juga jawabannya. “Saya bukan maling ayamnya, pak!”
                “Wah, lihatlah! Tangannya panjang. Aku yakin tangannya sudah biasa maling ayam,” kata seorang warga berbisik kepada sebelahnya. Tanggapan lain juga muncul di barisan kerumunan lain tak beraturan itu dan bilang, “kakinya juga panjang. Dia sudah terbiasa untuk lari ke kemaksiatan lalu kabur dengan cepat. Tuh, ayamnya saja lima. Nasibmu sudah berakhir, dasar maling ayam.”
                “Sumpah, pak, saya hanya orang yang kebetulan lewat sini.” Tidak ada yang mendengar suara putus asa sengau itu. Tentu saja, mana ada maling mengaku dirinya maling; alibinya pasti banyak, teve juga sering memberitakan dan menyinetronkan kasus seperti ini.
                “Kasus ini sepertinya tidak pernah berakhir, Pak RT. Bahkan walaupun sejak pertama kali mas-masnya datang dan sudah beberapa kali menangkap basah pelaku, tapi orang-orangnya bergantian, semacam taruhan nasib, gitu. Tidak ada kapoknya. Susah memang ya menjaga keamanan kampung ini.” Orang di sebelah Pak RT menunggu jawaban. Tapi mungkin beliau juga berpikiran sama.
                “Terima kasih, mas, sudah berulangkali meringkus pelaku maling ayam. Akan repot bila warga kampung kami yang sudah dijuluki kampung ramah ayam sudah mutung memelihara ayam gara-gara orang ini,” mata Pak RT tadi teduh berubah menjadi sengit begitu melihat orang terkapar penuh lebam ini, “walaupun kasus ini tidak ada habisnya. Kalau njenengan berkenan tinggallah disini lebih lama untuk keamanan dan kedamaian kampung ini dari pencuri ayam macam dia!”
                “Tidak, Pak! Aku tidak mecurinya. Tapi orang inilah yang sudah mencuri ayam. Aku teriak mengejar dia ada maling ayam warga tapi yang ada malah aku yang kena.” Bisingan kota sudah tidak dipedulikan suaranya, gemintang telah tenggelam dengan awan kemerahan juga tenggelam dengan polusi cahaya kota. Mana dengar orang-orang? Maling ya maling. Terima saja kenyataannya maka nggak bakal ada yang babak belur.
                “Pak, sejak dia masuk kampung, dia celingukan sana-sini. Saya ikuti saja dia siapa tahu dia mencari sesuatu. Tidak tahunya dia sedang beroperasi mencuri ayam. Maling ayam dia!” Pemuda berambut gondrong yang hanya biasa dipanggil mas-masnya ini berkata tenang.
                “Bohong, pak! Dia inilah...” Perutnya ditendang mas-masnya.
                “Omong kosong.” Dingin. “Kenapa tidak kita bawa ke kepolisian agar diproses hukum?”
                “Hei, kau. Aku ini polisi yang ditugaskan daerah sini untuk menyelesaikan kasus pencurian ayam. Kau ini juga mengambil dompetku. Kembalikan!”

             Malam yang biasanya gerah semakin memanas setelah alibinya maling ayam memberondong keluar. Yang dari tadi di sebelah Pak RT melihat dompet yang diamankan mas-masnya bergumam sebentar—lencana kepolisiannya asli—dan berkata, “o, jadi kamu polisi yang kehabisan uang karena hari ini tidak ada yang berhasil kamu palak di jalan dan menyerahkan nasibmu sebagai maling ayam terhormat, ya? Jangan bercanda kamu, ya!”
                “Eh, maksudmu?”
                “Sudah cukup, Waluyo.” Pak RT menenangkan warganya naik pitam. “Sudah, bawa dia ke kantor kepolisian biar dia sendiri yang diadili teman-temannya!”
                “Lepaskan! Bukan aku malingnya, tapi dia pencurinya! Bagaimana kalian...” Mulutnya sudah disumpal kain biar nggak berisik.
                Kerumunan itu mengiringi si maling ayam sehingga bubarlah acara rutinan menangkap pencuri ayam malam ini. Warga mengelus dada lega. Satu lagi keadilan ditegakkan tanpa memandang status. Siapapun dia, kalau dia maling ayam ya dia maling ayam. Sudah, memang begitulah nasibnya.
                “Pak, ayam ini saya bawa saja ya. Hitung-hitung bayaranlah.”
                “Iya, gak apa-apa, mas. Iya, hitung-hitung kami juga berhutang budi atas makin maraknya pencuri ayam.
                “Wah, terima kasih lho pak atas kemurahan hatinya.”
                “Jangan sungkan-sungkan. Seperti malam-malam sebelumnyalah.”

@>--

                Pada hari berikutnya seorang anak kecil yang digandeng ayahnya bingung melihat kok ayahnya berbalik arah, tidak jadi masuk ke kampung ramah ayam itu.
                “Pah, kok gak jadi nonton ayam disana? Kan papah sudah janji.”
                “Papah lupa, nak, kalau nanti habis isya papah ada acara dikantor. Papah lupa. Lain kali ya? Ini sudah magrib, nanti papah telat.” Lalu ayahnya itu mengusap kepala anaknya yang polos itu.
                “Yah papah.” Anaknya tentu saja kecewa. Tetapi ayahnya lupa juga supaya bilang sama seseorang yang mengenakan tas carrier hitam yang barusan melewati mereka berdua itu. Jangan masuk! Terlambat. Seorang pelancong itu sudah masuk kampung ayam itu dan bertemu dengan pemuda berambut gondrong lalu iseng bertanya, “ayamnya mau dijual atau mau diapain, mas?”
                Muka si pelancong yang ramah dan lelah itu ditonjok hingga dia tersungkur ke belakang. Sekali lagi, malam yang damai itu datanglah pahlawan penyelamat ayam warga sedang melakukan pekerjaannya. Hari ini keadilan kembali ditegakkan seperti malam kemarin dan kemarin-kemarinnya.
                “Hei, maling ayam, maling ayam! Aku menangkapnya!”

Terinspirasi oleh Salvador, cerpen karya Seno Gumira Ajidarma
12 Des. 16
(Diedit) 14 Desember 2016

farhan_cerdik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dikelola oleh Bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan PD IPM Bantul | Desain Template oleh Templateism | MyBloggerLab Copyright © 1435H | 2014M

Gambar tema oleh richcano. Diberdayakan oleh Blogger.