Malam ini sama seperti
malam-malam sebelumnya. Seseorang membunyikan kentongan amat keras tanpa jeda
dan tempo, membuat rembulan yang tadi tidak terlihat kembali dibungkus mendung
kemerah-merahan—tidak ada hubungannya memang. Seorang jangkung bernasib naas.
Tubuhnya tak berdaya dengan lebam sana-sini, terutama wajahnya yang sebetulnya
tampan, sih. Apa peduli? Dia dilaporkan sudah mencuri ayam warga setelah
seorang warga melihat mas-masnya yang biasa menghadapi kasus ini (pencurian
ayam) sudah merobohkannya sambil membawa lima ekor ayam yang sudah diikat
kakinya. Dikeroyok kemudian.
“Tadi kenapa kamu jalannya
celingukan? Jelaskan!” warga yang menindihnya mendesak ingin dijawab. Tapi
mulut tersangka cuma bunyi, “aku bukan pencurinya, pak. Sumpah. Jalan-jalan saja,”
terus-menerus sampai akhirnya bonyok-bonyok nggak berubah juga jawabannya.
“Saya bukan maling ayamnya, pak!”
“Wah, lihatlah! Tangannya
panjang. Aku yakin tangannya sudah biasa maling ayam,” kata seorang warga
berbisik kepada sebelahnya. Tanggapan lain juga muncul di barisan kerumunan
lain tak beraturan itu dan bilang, “kakinya juga panjang. Dia sudah terbiasa
untuk lari ke kemaksiatan lalu kabur dengan cepat. Tuh, ayamnya saja lima.
Nasibmu sudah berakhir, dasar maling ayam.”
“Sumpah, pak, saya hanya orang
yang kebetulan lewat sini.” Tidak ada yang mendengar suara putus asa sengau
itu. Tentu saja, mana ada maling mengaku dirinya maling; alibinya pasti banyak,
teve juga sering memberitakan dan menyinetronkan kasus seperti ini.
“Kasus ini sepertinya tidak
pernah berakhir, Pak RT. Bahkan walaupun sejak pertama kali mas-masnya datang
dan sudah beberapa kali menangkap basah pelaku, tapi orang-orangnya bergantian,
semacam taruhan nasib, gitu. Tidak ada kapoknya. Susah memang ya menjaga
keamanan kampung ini.” Orang di sebelah Pak RT menunggu jawaban. Tapi mungkin
beliau juga berpikiran sama.
“Terima kasih, mas, sudah
berulangkali meringkus pelaku maling ayam. Akan repot bila warga kampung kami
yang sudah dijuluki kampung ramah ayam sudah mutung memelihara ayam gara-gara orang ini,” mata Pak RT tadi teduh
berubah menjadi sengit begitu melihat orang terkapar penuh lebam ini, “walaupun
kasus ini tidak ada habisnya. Kalau njenengan
berkenan tinggallah disini lebih lama untuk keamanan dan kedamaian kampung ini
dari pencuri ayam macam dia!”
“Tidak, Pak! Aku tidak
mecurinya. Tapi orang inilah yang sudah mencuri ayam. Aku teriak mengejar dia
ada maling ayam warga tapi yang ada malah aku yang kena.” Bisingan kota sudah
tidak dipedulikan suaranya, gemintang telah tenggelam dengan awan kemerahan
juga tenggelam dengan polusi cahaya kota. Mana dengar orang-orang? Maling ya
maling. Terima saja kenyataannya maka nggak bakal ada yang babak belur.
“Pak, sejak dia masuk kampung,
dia celingukan sana-sini. Saya ikuti saja dia siapa tahu dia mencari sesuatu.
Tidak tahunya dia sedang beroperasi mencuri ayam. Maling ayam dia!” Pemuda
berambut gondrong yang hanya biasa dipanggil mas-masnya ini berkata tenang.
“Bohong, pak! Dia inilah...”
Perutnya ditendang mas-masnya.
“Omong kosong.” Dingin. “Kenapa
tidak kita bawa ke kepolisian agar diproses hukum?”
“Hei, kau. Aku ini polisi yang
ditugaskan daerah sini untuk menyelesaikan kasus pencurian ayam. Kau ini juga
mengambil dompetku. Kembalikan!”
Malam yang biasanya gerah
semakin memanas setelah alibinya maling ayam memberondong keluar. Yang dari
tadi di sebelah Pak RT melihat dompet yang diamankan mas-masnya bergumam
sebentar—lencana kepolisiannya asli—dan berkata, “o, jadi kamu polisi yang
kehabisan uang karena hari ini tidak ada yang berhasil kamu palak di jalan dan
menyerahkan nasibmu sebagai maling ayam terhormat, ya? Jangan bercanda kamu,
ya!”
“Eh, maksudmu?”
“Sudah cukup, Waluyo.” Pak RT
menenangkan warganya naik pitam. “Sudah, bawa dia ke kantor kepolisian biar dia
sendiri yang diadili teman-temannya!”
“Lepaskan! Bukan aku malingnya,
tapi dia pencurinya! Bagaimana kalian...” Mulutnya sudah disumpal kain biar
nggak berisik.
Kerumunan itu mengiringi si
maling ayam sehingga bubarlah acara rutinan menangkap pencuri ayam malam ini.
Warga mengelus dada lega. Satu lagi keadilan ditegakkan tanpa memandang status.
Siapapun dia, kalau dia maling ayam ya dia maling ayam. Sudah, memang begitulah
nasibnya.
“Pak, ayam ini saya bawa saja
ya. Hitung-hitung bayaranlah.”
“Iya, gak apa-apa, mas. Iya,
hitung-hitung kami juga berhutang budi atas makin maraknya pencuri ayam.
“Wah, terima kasih lho pak atas
kemurahan hatinya.”
“Jangan sungkan-sungkan. Seperti
malam-malam sebelumnyalah.”
@>--
Pada hari berikutnya seorang
anak kecil yang digandeng ayahnya bingung melihat kok ayahnya berbalik arah,
tidak jadi masuk ke kampung ramah ayam itu.
“Pah, kok gak jadi nonton ayam
disana? Kan papah sudah janji.”
“Papah lupa, nak, kalau nanti
habis isya papah ada acara dikantor. Papah lupa. Lain kali ya? Ini sudah
magrib, nanti papah telat.” Lalu ayahnya itu mengusap kepala anaknya yang polos
itu.
“Yah papah.” Anaknya tentu saja
kecewa. Tetapi ayahnya lupa juga supaya bilang sama seseorang yang mengenakan
tas carrier hitam yang barusan
melewati mereka berdua itu. Jangan masuk!
Terlambat. Seorang pelancong itu sudah masuk kampung ayam itu dan bertemu dengan
pemuda berambut gondrong lalu iseng bertanya, “ayamnya mau dijual atau mau
diapain, mas?”
Muka si pelancong yang ramah dan
lelah itu ditonjok hingga dia tersungkur ke belakang. Sekali lagi, malam yang
damai itu datanglah pahlawan penyelamat ayam warga sedang melakukan
pekerjaannya. Hari ini keadilan kembali ditegakkan seperti malam kemarin dan
kemarin-kemarinnya.
“Hei, maling ayam, maling ayam!
Aku menangkapnya!”
Terinspirasi oleh Salvador, cerpen karya
Seno Gumira Ajidarma
12
Des. 16
(Diedit)
14 Desember 2016
farhan_cerdik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar